Koordinasi LKS Tripartit Kota Tangerang Berjalan Baik
Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi saat memimpin pertemuan Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi IX DPR RI dengan Wali Kota Tangerang beserta jajaran. Foto: Sofyan/rni
Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit di Kota Tangerang yang terdiri dari unsur Pemerintah Kota Tangerang, organisasi pengusaha, dan serikat pekerja atau buruh, dinilai telah menjalankan koordinasi dan komunikasi yang baik dalam memutuskan besarab Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi menilai, pengupahan di Kota Tangerang berjalan baik, karena besaran UMK dianggap telah memenuhi harapan pekerja dan buruh.
“Kalau saya lihat, komunikasi LKS Tripartitnya sudah berjalan baik, sehingga gejolak-gejolak (pada pengupahan) bukan ke Kota Tangerang, tapi ke provinsi. Hal ini terjadi karena disparitas jarak upah minimum (antar daerah di Provinsi Banten) yang terlalu jauh. Tapi khusus Kota Tangerang bisa meredam,” kata Dede usai memimpin pertemuan Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi IX DPR RI dengan Wali Kota Tangeran beserta jajaran, di Balai Kota Tangerang, Banten, Selasa (26/3/2019).
Turut hadir dalam pertemuan ini, Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Tangerang Rahmansyah, Ketua DPD Serikat Pekerja Nasional (SPN) Banten Ahmad Syaukani, Ketua DPD Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Banten Deddy Djunaedi, serta perwakilan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI-JSK) Kementerian Ketenagakerjaan.
Dede melanjutkan, terkait pengupahan ini, baik UMK maupun Upah Minimum Provinsi (UMP) pada dasarnya adalah batas minimum upah bagi para pekerja dan buruh. Namun terkadang ada daerah yang pertumbuhan ekonominya tinggi, sehingga pemerintah provinsi harus menghitung batas tengah antara tertinggi dan terendah dalam menentukan UMP. Sebagai salah satu kota dengan pertumbuhan ekonomi tinggi di Banten, muncul disparitas upah yang cukup signifikan antara Kota Tangerang dengan kota dan kabupaten lain di Banten.
“Dampaknya ada beberapa investasi, seperti sektor 2, 3 dan 4 yang bisa dikatakan investasi padat karya, merasa berat untuk melakukan pembayaran sesuai dengan UMK-nya. Di Kota Tangerang kan UMK sekitar Rp 3,869 juta. Akhirnya mereka (investor) memilih pindah ke daerah lain yang upahnya lebih murah. Kalau ini terjadi terus menerus, yang dikhawatirkan adalah kota besar yang upahnya tinggi, akan kehilangan industri,” imbuh Dede.
Oleh karena itu, politisi Partai Demokrat itu melihat perlu adanya konsep lain terkait pengupahan, selain mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Dimana konsep itu harus memperhitungkan upah minimum yang benar-benar berdasarkan komponen hidup layak di daerah tersebut. Di sisi lain, besaran upah itu juga tidak terlalu jauh dengan wilayah di sekitarnya. Jadi disparitas upah antar daerah tidak terlalu tinggi.
“Jadi kita tetap cari bentuk-bentuk baru, yang saat ini semua sudah setuju PP 78 akan kita revisi. Bentuknya seperti apa, mungkin benchmark di Kota Tangerang ini bisa menjadi satu pola keberhasilan. Kita sudah dengar dari SPN dan Apindo, semua mengatakan di Kota Tangerang ini tidak ada gejolak (terkait pengupahan). Ini bisa kita ambil sebagai peta proses pengupahan yang baik,” apresiasi legislator dapil Jawa Barat II itu.
Sebelumnya, Wali Kota Tangerang Arief R. Wismansyah menjelaskan bahwa UMK di Kota Tangerang sudah cukup tinggi, mencapai Rp 3,869 juta. Ia mengklaim, daerah yang dipimpinnya memiliki UMK tertinggi ketiga se-Indonesia. Ia menambahkan, Kota Tangerang sedang proses pengembangan yang bermula kawasan industri, akan dijadikan konsep Aerotropolis, dimana tata letak, infrastruktur dan ekonomi berpusat pada bandara.
“Buat teman-teman yang ingin berinvestasi, kalau mau menggarap pasar Indonesia seharusnya berkantor di Kota Tangerang. Jadi semangatnya Pemkot Tangerang bagaimana menjaga investasi di Kota Tangerang dan tetap membuka lapangan pekerjaan. Hal ini juga untuk mengurangi pengangguran di Kota Tangerang,” tambah Arief. Saat ini, jumlah pengangguran terbuka di Kota Tangerang sebesar 7,17 persen, dari jumlah sekitar 2 juta penduduk. (sf)